6.02.2009

Pasrah pada Takdir


Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal.” (QS Al-Taubah, 9: 51)


“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (kadar).“ (QS Al-Qamar, 54: 49)

Sebagaimana dikatakan ayat, Allah telah menciptakan semua makhluk, hidup atau mati, dengan takdirnya masing-masing. Takdir yang ditetapkan Allah ini tidak dapat diubah; kebaikan atau keburukan apa pun yang telah ditetapkan sebelumnya tidak dapat dengan cara apa pun dicegah atau disimpangkan oleh siapa pun. Mereka yang beriman sempurna adalah mereka yang sadar bahwa “tidak sesuatu pun dapat menimpa mereka kecuali apa yang telah ditetapkan Allah atas mereka.” Senyatanya, kenyataan ini merupakan sumber kedamaian yang tak berhingga. Setiap peristiwa di bumi, apakah penting atau sepele, dan dalam segenap rinciannya, direncanakan oleh kecerdasan yang tak berhingga. Karena itu, masing-masing peristiwa berkembang dalam cara yang terkendali, agar memberikan manfaat terbaik bagi para mukmin. Menyadari bahwa Allah menciptakan setiap peristiwa demi keuntungan agama dan manfaat bagi kehidupan mukmin di hari kemudian, mereka yang beriman sempurna hidup dalam kepasrahan tulus kepada kebijaksanaan abadi Allah dan takdir yang telah ditetapkanNya. Sebagaimana diperjelas

 “…Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman,” (QS Al-Nisa, 4: 141),

semua peristiwa akan berujung dalam cara yang, biar bagaimana pun, berpihak kepada mukmin. “… Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya…” (QS Al-Hajj, 22: 40)

karena Allah sahabat dan pelindung kaum mukmin. Mereka yang beriman sempurna yang mengangkat Allah sebagai Pelindung mereka dan menaruh kepercayaan kepadaNya tidak pernah berputus asa akan pertolongan Allah. Khususnya dalam hal keadaan yang tampak tidak menguntungkan, tidak pernah mereka menyimpang dari kedudukan ini, menyadari ada kebaikan dalam apa pun yang terjadi. Dunia adalah pentas di mana Allah menempatkan manusia ke dalam cobaan. Kebanyakan manusia menunjukkan kepasrahan kepada Allah dan merasa bersyukur kepadaNya ketika menerima sebentuk kebaikan atau nikmat, mengiranya dianugerahkan kepada mereka olehNya. Namun, saat menyangkut peristiwa tak menyenangkan yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan, mereka tiba-tiba kehilangan sikap kepasrahan. Mereka menunjukkan ketakpercayaan dan ketakbersyukuran yang kadang-kadang separah pemberontakan terhadap Allah. Sikap ini dirujuk dalam Qur'an sebagai berikut: …

Apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami, dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar).. (QS Al-Syura, 42: 48)

Akan tetapi, mereka yang beriman sempurna telah meresapi rahasia yang diungkapkan oleh ayat, “…Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS Al-Anbiya, 21: 35)

Tidak pernah melupakan bahwa setiap peristiwa yang tampak menyenangkan atau menyusahkan diciptakan khusus untuk menguji keimanan, mereka tidak pernah berkurang dalam kepasrahan yang mereka perlihatkan kepada kehendak Allah dan kepercayaan pada Pencipta mereka tidak pernah berkurang. Mereka mengetahui apa pun peristiwa merugikan yang menimpa mereka mungkin, sebenarnya, menghasilkan akibat-akibat yang baik jika menimbang kehidupan selanjutnya, sebab Allah menciptakan setiap peristiwa dengan banyak maksud tersembunyi yang manusia tidak melihatnya. Kenyataan ini terekam dalam satu ayat berikut: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al-Baqarah, 2: 216)

Sebagaimana ditekankan dalam ayat di atas, suatu peristiwa yang awalnya dikira buruk mungkin berakibat baik bagi manusia karena Allah, Pemilik kebijaksanaan yang tak berhingga, telah merencanakan semua peristiwa yang menimpanya. Kebijaksanaan dan kepiawaian berpikir manusia itu terbatas. Karena hal ini, apa yang diharapkan dilakukan manusia adalah memasrahkan diri kepada takdir yang telah ditetapkan Allah dengan kebijaksanaan abadiNya. Itulah apa yang akan memberi manusia manfaat dalam apa pun perkara. Suatu peristiwa mungkin tampak berjalan tidak menyenangkan; namun, jangan pernah melupakan bahwa itu mungkin sebuah cobaan atas kepasrahan manusia kepada Allah. Peristiwa ini mungkin akan berujung pada nikmat besar suatu waktu. Mereka yang gagal menaruh kepercayaan kepada Allah awalnya melupakan kenyataan ini dan karena itu menderita kerugian besar. Di sisi lain, mereka yang beriman sempurna dan menunjukkan sikap baik, meraih rida Allah dan akhirnya menikmati ganjaran-ganjaran menyenangkan karena itu. Qur'an memberi kita dengan sejumlah cuplikan kehidupan para nabi, yang menjadi teladan bagi semua manusia dalam hal keimanan sempurna yang mereka perlihatkan. Salah satunya mengenai keadaan yang tampak tanpa harapan dari Nabi Musa AS, yang memimpin kaumnya keluar dari Mesir untuk melarikan diri dari penindasan Firaun. Ketika mereka tiba di pantai, Firaun dan tentaranya hampir menyusul mereka. Keadaan sulit ini, yang tak diragukan mengilhami harapan keselamatan yang tersuram, menjadi cara memisahkan mereka yang melihat kebajikan dalam takdir di setiap keadaan dan mereka yang meragukannya. Dalam Qur'an, Allah menceritakan peristiwa ini sebagai berikut: Maka Firaun dan bala tentaranya menyusul mereka di waktu matahari terbit. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: "Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul." Musa menjawab: "Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku." Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu." Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman. (QS Al-Syu’ara, 26: 60-67)

Sebagaimana diberitahukan ayat ini, sebagian kaum Nabi Musa AS cemas dan berpikir, “Kita pasti akan tersusul.” Akan tetapi, Nabi Musa AS tidak sedikit pun berputus asa. Ia ingat bahwa pertolongan Allah ada di tangannya. Setelah cobaan ini, Allah secara ajaib membelah air laut, meninggalkan lintasan kering di tengahnya, dan membimbing mereka ke pantai seberang. Sementara itu, air tiba-tiba mulai menutup Firaun dan bala tentaranya, yang tanpa berpikir ikut menempuh lintasan yang sama, dan mereka semua tenggelam. Sekali kepasrahan mukmin menjadi jelas, Allah mengubah keadaan buruk menjadi sebuah nikmat yang agung. Dalam Qur'an, Allah juga mengisahkan kepasrahan Nabi kita SAW pada kehendakNya sebagai teladan: Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua. Di waktu dia berkata kepada temannya:

"Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita," maka Allah menurunkan ketenanganNya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Taubah, 9: 40)

Dalam saat-saat kesulitan, Nabi Muhammad SAW menaruh kepercayaannya kepada Allah dan menghimbau para pengikutnya agar pasrah kepadaNya. Mereka yang beriman sempurna mengambil perilaku terpuji Nabi SAW sebagai teladan. Tak pernah menyeleweng dari acuan kesempurnaan akhlak ini, mereka menghadapi setiap kesukaran yang mereka temui dengan kata-kata: …"Cukuplah Allah bagiku ." KepadaNyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (QS Al-Zumar, 39: 38)

PANDANGAN MEREKA YANG BERIMAN SEMPURNA TERHADAP KEHIDUPAN DUNIA INI

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan sendau gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut, 29: 64)

Allah telah menciptakan dunia ini sebagai persinggahan sementara untuk menempatkan manusia dalam cobaan, menyucikannya dari dosa-dosanya, membuatnya mencapai jiwa yang bernilai surga, dan menyingkap kejahatan kafirin… Akan tetapi, sangat sedikit manusia merenungi dan meresapi kebenaran ini: itulah mereka yang beriman sempurna. Pandangan terhadap kehidupan seorang mukmin yang telah meraih keimanan sempurna didasarkan pada kenyataan yang sangat penting ini yang ditekankan dalam Qur'an. Tidak seperti kafirin, orang seperti dia tidak merasa terikat pada kehidupan di dunia ini. Sebaliknya, ia berjuang bagi kehidupan di hari kemudian. Sadar bahwa ia diciptakan “hanya untuk menyembah Allah,” ia mengingat ayat, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.” (QS Al-Dzariat, 51; 56)

Sebagaimana disebutkan di muka, menyembah Allah tidaklah terbatas pada menaati sejumlah bentuk pemujaan seperti bershalat wajib atau berpuasa. Sebaliknya, menjadi hamba Allah mencakup sepenuh kehidupan seseorang. Mukmin beriman sempurna adalah seseorang yang dapat diartikan sebagai menghabiskan seluruh hidupnya melayani Allah. Ia hidup hanya untuk Allah, bekerja hanya demi Allah, dan mengabdikan seluruh daya-upayanya demi tujuan Allah. Ia benar-benar menyadari bahwa dunia ini bukan sesuatu melainkan tempat cobaan. Dalam Qur'an, Allah menarik perhatian pada hal ini: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setitik mani yang bercampur, lalu Kami uji dia; maka Kami jadikanlah ia mendengar, lagi melihat.” (QS Al-Insan, 76: 2)

Allah, lebih jauh, menarik perhatian ke sifat menipu dunia ini dan memperingatkan manusia: Hai manusia! Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Maka, sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdaya kamu dan sekali-kali janganlah orang yang pandai menipu memperdayakan kamu tentang Allah. (QS Al-Fathir, 35: 5)

Mereka yang beriman sempurna adalah mereka yang tidak tertipu oleh keindahan kehidupan di dunia ini, betapa pun memikatnya semua itu terlihat. Hal ini karena Kitab Allah telah menunjuki mereka wajah sejati kehidupan di dunia ini. Sebagaimana dikatakan Qur'an, kehidupan dunia ini adalah “permainan”, “senda gurau”, “pawai meriah”, “canda di antara manusia”, dan “perlombaan menumpuk harta dan anak-anak”. Perumpamaan setara berikut dalam Qur'an memperjelas sifat dunia ini: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu, serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu kering dan kamu melihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaanNya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS Al-Hadid, 57: 20)

Sebagaimana diungkapkan contoh ini, tak sesuatu pun di dunia akan menahan pengaruh merusak waktu; tidak rumah-rumah yang megah, mobil yang mengkilap, pemandangan yang memukau, maupun orang muda dengan karir cemerlang dapat menyelamatkan diri sendiri.. Semua yang baru melayu, yang muda menua. Waktu menghancurkan benda-benda yang paling berharga dan membuat semuanya kehilangan pesona. Saat-saat yang paling berkesan lewat dengan cepat dan menjadi sejarah. Setelah beberapa saat, semua yang baik menjadi kenang-kenangan yang kabur. Dalam satu ayat, Allah memberitahu kita tentang nafsu yang membuat manusia terikat kepada dunia ini: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah tempat kembali yang baik (surga). (QS Al-Imran, 3: 14) Sifat umum nikmat-nikmat dunia yang ditekankan dalam ayat di atas adalah kefanaan dan keterbatasannya. Karena alasan inilah, tidak sesuatu pun ada di dunia ini yang manusia dapat berserakah mengikat diri kepadanya. Tidak rupa fisik manusia, yang cuma tulang dan daging, tidak pula benda-benda lahiriah, yang semuanya rentan dan akhirnya lapuk, membolehkan manusia mengikat diri ke dunia. Nikmat-nikmat yang kita lihat di sekeliling kita tidak lebih dari salinan tak sempurna nikmat-nikmat di surga dan diciptakan dengan maksud sebagai peringatan akan hari kemudian. Mereka yang beriman sempurna yang telah meresapi kenyataan penting ini menerima manfaat terbaik yang mungkin di dunia ini. Namun, ada satu perbedaan pokok antara mereka dan orang-orang yang terbuai oleh dunia ini; mereka tidak merasa rakus akan nikmat-nikmat ini. Sebaliknya, mereka merasa bersyukur kepada Allah atas apa yang Dia karuniakan kepada mereka, sebab mereka mengetahui bahwa pemilik sejati semua benda di bumi adalah Allah. Mereka yang mengira memiliki harta, kecantikan, atau kekuasaan sesungguhnya memperdaya diri sendiri, karena bukan mereka yang telah menciptakan semua itu. Mereka tidak mampu menciptakan bahkan satu saja dari semua itu. Lebih jauh, mereka tidak dapat mencegah semua itu dari kepunahan. Mereka sendiri adalah makhluk yang diciptakan… Suatu hari, mereka pasti kan mencicipi kematian, meninggalkan di belakang semua yang menjadi milik kehidupan ini. Kesadaran akan ayat, “Sesungguhnya orang-orang itu menyukai kehidupan yang dekat (di dunia), dan mereka abaikan di belakang mereka hari yang berat.” (QS Al-Insan, 76: 27)

adalah apa yang membedakan mereka yang beriman sempurna dengan mereka yang hidup dalam kelalaian. Mereka yang beriman sempurna mempersiapkan diri bagi kehidupan selanjutnya, bukan yang satu di dunia ini. Qur'an mencatat doa orang-orang ini: Dan di antara mereka ada orang yang mendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Al-Baqarah, 2: 201)

Sebagai ganjaran bagi perilaku dan doa tulus mereka, Allah memberi mereka nikmat baik di dunia maupun di akhirat. Allah memberikan kabar gembira tentang hal ini dalam Qur'an sebagai berikut: Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Al-Imran, 3: 148)


Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (di dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (QS Yunus, 10: 64)

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sahabat telah berkunjung di blog sederhana ini
saya ada blog yang lain yaitu taman kunang-kunang terimakasih

Artikel

Followers